Blogger news

Senin, 14 November 2011

Isu Gender dalam Penyusunan Rencana Kerja Sekolah

Isu Gender dalam Penyusunan Rencana KerjaSekolah
DIREKTORAT PENDIDIKAN MASYARAKATDIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN NON FORMAL DAN INFORMAL KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
2010

LATARBELAKANG
Perhatikan hal yang berkaitan dengan millennium development goals (MDGs) dan data lama-sekolah sebagian penduduk Indonesia seperti yang dipaparkan dio bawah ini.
Goal 2: mencapai pendidikan dasar bagi semua dengan tujuan bahwa pada tahun 2015 semua anak baik laki-laki maupun perempuan dapat mengenyam pendidikan dasar
Goal 3: mempromosikan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dengan tujuan untuk menghapuskan segala bentuk disparitas gender dalam pendidikan dasar dan menengah paling lambat pada tahun 2015.
Rata-rata Lama Sekolah (dalamtahun)
Penduduk Berusia 15 Tahun Keatas Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, Tahun 2008

 Capaian pendidikan perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, baik di perkotaan maupun di perdesaan

Dua hal ini merupakan bagian penting dari tumbuh kembang insiatif pemerintah Indonesia untuk mengagendakan secara nasional upaya “Pengarusutamaan Gender” (PUG)



APA KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DALAM KELUARGA?
Suatu kondisi yang setara dan seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh peluang/ kesempatan, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan, baik di dalam maupun di luar rumah tangga.

MENGAPA PERLU MENYELENGGARAKAN PUG ?
• Memperoleh akses yang sama kepada sumber daya pembangunan;
• Berpartisipasi yang sama dalam proses pembangunan, termasuk proses pengambilan keputusan;
• Memiliki kontrol yang sama atas sumber daya pembangunan; dan
• Memperoleh manfaat yang sama dari hasil pembangunan.

KOMITMEN NASIONAL TENTANG PUG
• Untuk melaksanakan PUG ini, pada tahun 2000 telah dikeluarkan Instruksi Presiden No.9 Tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan Nasional. Melalui instruksi ini Presiden Republik Indonesia telah mengintruksikan kepada seluruh Kementerian/Lembaga serta pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan PUG kedalam perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program yang berperspektif gender diseluruh aspek pembangunan
• Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Dalam UU tersebut peningkatan kesetaraan gender merupakan salah satu tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Ke-2 (2010-2014)
• Permendagri No 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di daerah
• Permendiknas No.84 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan PUG Bidang Pendidikan yang memberi acuan pelaksanaan PUG bidang pendidikan mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai dengan satuan pendidikan.




PUG DALAM INSTRUKSI PRESIDEN ( Inpres No.9 Tahun 2000)
Suatu strategi untukmencapaikesetaraandankeadilan gender (KKG) melaluikebijakandan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki kedalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan sektor pembangunan

PUG DALAM PERATURANMENTERI PENDIDIKAN
(PERMEN DIKNAS NO. 84, THN 2008 TENTANGPEDOMAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN)
TujuanPengarusutamaan Gender
• memberikan acuan bagi para pemegang kebijakan dan pelaksana pendidikan dalam menyusun strategi pengintegrasian gender yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan, penganggaran,
• pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan bidang pendidikan;
• mewujudkan perencanaan berperspektif gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, potensi, dan penyelesaian permasalahan laki-Iaki dan perempuan;
• mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender pada satuan pendidikan dan masyarakat;
• mewujudkan pengelolaan anggaran pendidikan yang responsif gender;
• meningkatkan kesetaraan dan keadilan dalam kedudukan, peranan, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai insan dan sumber daya pembangunan.

INTEGRASI KEADILAN DAN KESETARAAN GENDER DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (SBM)
Kesetaraan dan keadilan gender dapat diintegrasikan melalui tugas dan fungsi (tupoksi) sekolah dalam menerapkan MBS yang meliputi komponen-komponen sebagai berikut :
• pengelolaan proses belajar mengajar
• perencanaan, evaluasi dan supervisi
• pengelolaan kurikulum
• pengelolaan ketenagaan
• pengelolaan fasilitas
• pengelolaan keuangan
• pelayanan siswa
• peran serta masyarakat
• pengelolaan budaya sekolah


Langkah Integrasi Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) :
• Merumuskan visi, misi, tujuan dan sasaransekolah dengan memasukkan kesetaraan gender sebagai bagian integral dan eksplisit
• Mengidentifikasi fungsi-fungsi sekolah yang menggunakan prinsip MBS dengan mengintegrasikan masalah gender yang diperlukan untuk mencapai sasaran
• Melakukan analisis SWOT untuk mengetahui potensi pengembangan kesetaraan gender dalam perencanaan program dan pengembangan strategis untuk mencapai sasaran
• Mengidentifikasi langkah-langkah pemecahan masalah terkait dengan hambatan kesetaraan gender di sekolah akibat konstruksisosial budaya
• Menyusun rencanadan program peningkatan mutu yang responsif terhadap perbedaan gender sebagai konstruksi sosial dengan memperhatikan kebutuhan gender praktis dan gender strategis
• Melakukan monitoring dan evaluasi dengan menggunakan indikator kesetaraan gender dan indikator kebijakan responsif gender
• Merumuskansasaran mutu baru melaui reformulasi manajemen sekolah yang bias atau netral gender menuju manajemen responsif gender
Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang responsif Gender :
• Memiliki visi dan misi yang berperspektif gender
• Kepala sekolahmemiliki karakteristik yang profesional dan sensitif gender
• Karakteristik guru yang professional dan sensitif gender
• Kurikulum yang seimbang dan responsif gender
• Lingkungan sekolah yang sensitif gender
• Lingkungan fisik dan pembelajaran yang ramah terhadap perbedaan gender
• Manajemen sekolah yang responsif gender
• Ada upaya mewujudkan komite sekolah responsif gender

Identifikasi Isu-isu Gender di Sekolah / PerguruanTinggi :
1. Aksesterhadap semua program/kegiatan
2. Partisipasidalam pengambilan kebijakan
3. Kontrolterhadap sumber-sumber daya
4. Manfaatdari program/kegiatan yang dilaksanakan

TUJUAN PENDIDIKAN SEKOLAH/PT YANG RESPONSIF GENDER (PSBG)
Apa Tujuan Sekolah /PerguruanTinggiResponsifGender (PSBG)?
Mewujudkan kesempatan pendidikan yang adil dan setara adil pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, mendorong peningkatan mutu dan efisiensi melalui pemberdayaan potensi perempuan dan laki-laki secara optimal, dan memperkecil ketimpangan gender terutama pada jurusan/program studi dan bidang kejuruan
MengapaPendidikanSekolah /PerguruanTinggiResponsif Gender (PSBG)?
• Kebijakan sekolah cenderung netral (beberapa bias) gender, yang berdampak terhadap tingkat pemerolehan manfaat yang berbeda antara laki-laki dan perempuan (laki-laki biasanya mendapatkan manfaat lebih tinggi dibandingkan perempuan).
• Masih terdapat bahan ajar yang mengandung stereotipe gender yang menguatkan prilaku bias gender di masyarakat.
• Perilaku guru yang belum sensitif gender, yang berdampak pada bentuk-bentuk prilaku yang bias gender.
• Penataan sarana dan prasarana di sekolah /Perguruan Tinggi yang belum memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan dan laki-laki.
• Keterwakilan anggota masyarakat dalam komite sekolah dan dewan pendidikan masih didominasi oleh laki-laki.

APA RUANG LINGKUP PENDIDIKAN SEKOLAH RESPONSIF GENDER (PSBG)?
Melakukan pengarusutamaan gender pada aspek:
1. ManajemenSekolah, yang meliputi; Organisasi dan budaya sekolah, Sarana dan Prasarana, Administrasi Sekolah, Kebijakan dan Pengelolaan Sekolah
2. Proses Pembelajaran; perencanaan pembelajaran, penyusunan bahan ajar, prilaku guru, metode/pendekatan dalam pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran
3. Peran serta masyarakat dalam pendidikan

SIAPA SASARAN PENDIDIKAN SEKOLAH /PT RESPONSIF GENDER ?
1. Manajer Sekolah
2. Tenaga Pendidikdan Kependidikan
3. Stakeholders pendidikan (Komite Sekolah, Penulis Bahan Ajar, Penerbit, Orangtua)
4. Peserta didik



RUANG LINGKUP PENDIDIKAN SEKOLAH/ PT RESPONSIF GENDER ?
1. Manajemen Sekolah
2. Pembelajaran
3. Peran Serta Masyarakat
Indikator Sekolah /Perguruan Tinggi Responsif Gender
Aspek Manajemen:
1. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan peran yang yang sama atau setara dalam mengendalikan sistem pendidikan di sekolah;
2. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan peran yang sama atau setara dalam membina, mengarahkan dan melaksanakan pelayanan pendidikan di sekolah dan dapat memperoleh manfaat yang sama dari kesempatan dan peran tersebut;
3. Sekolah menghargai adanya karakter kerja, kesempatan dan tugas kultur yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan pribadi maupun dalam menjalankan tugas kedinasan;
4. Data dan informasi yang digunakan oleh guru dan kepalasekolah terpilah antara laki-laki dan perempuan, dan digunakan untuk analisis pendidikan yang berpihak pada laki-laki dan perempuan secara seimbang;
5. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk menempati jabatan struktural dan/atau jabatan fungsional di sekolah, melakukan pengendalian terhadap program serta memperoleh manfaat yang sama;
6. Sekolah memilikisarana-parasarana yang dapat diakses oleh serta memenuhi kebutuhan khusus laki-laki dan perempuan, seperti: kamar mandi, lapangan olahraga, alat-alat olahraga, pakaian olah raga, kamar ganti, bangsa, dsb,

MENCIPTAKAN BUDAYA SEKOLAH RESPONSIF GENDER

Isu gender pada Budaya Sekolah
1. Kesenjangan gender dalam kaitan dengan partisipasi murid yang dapat ditunjukkan dengan proporsi jumlah murid di sekolah yang menyebabkan jenis kelamin laki-laki menjadi kelompok yang mendominasi dibandingkan dengan murid perempuan
2. Stereotipi atau pembakuan citra dari peran-peran laki-laki maupun perempuan yang merugikan salah satu jenis kelamin.
3. Diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu sehingga menghalangi untuk mendapatkan hak-haknya serta melaksanakan peran-perannya di lingkungansekolah
4. Kekerasan berbasis gender, baik fisik, psikis maupun seksual, seperti memandang lebih rendah dan meminggirkan, pelecehan seksual, dan yang sejenisnya.

Upaya Menciptakan Budaya Sekolah Responsif Gender
1. Menciptakan rasa aman dan nyaman tanpa ada kekerasan fisik, psikis, seksual berbasis perbedaan jenis kelamin
2. Memberikan penghargaan dan penghormatan sesuai dengan posisi dan perannya masing-masing
3. Menghindari terjadinya diskriminasi gender baik terhadap laki-laki maupun terhadap perempuan

Standar Minimal PUG Pusat Dan Daerah
NO INDIKATOR STANDAR MINIMAL PENCAPAIAN
1 Dukungan Kebijakan/
Komitmen Adanya surat keputusan Dirjen/Gubernur/ Bupati mengenai pelaksanaan PUG bidang pendidikan
2 Kelembagaan Adanya Pokja PUG Bidang Pendidikan di pusat dan daerah
3 Focal Point Adanya 1 orang di pusat dan daerah yang mempunyai pemahaman PUG dengan baik
4 Program Adanya minimal 1 program pendidikan responsive gender
5 Pendataan Tersedianya data pendidikan terpilah menurut jenis kelamin
6 Anggaran Adanya dukungan APBD untuk program PUG
7 Alat analisis Adanya salah satu alat analisis gender yang dipahami dan dipergunakan dalam perencanaan program pendidikan

Minggu, 30 Oktober 2011

Pendidikan Karakter di Pendidikan Dasar

Pendidikan Karakter di Pendidikan Dasar silakan klik disini oke !

Kamis, 27 Oktober 2011

GRAND DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER

Grand Desain Pendidikan Karakter silakan klik disini oke !

Minggu, 02 Oktober 2011

RENUNGAN 3

Ga terasa umur ku sekarang dah 39 tahun.... smoga ya Allah diumur ku yg 39 ini   hambamu ini  bisa lebih  mawas diri dan juga bisa mensyukuri apa2 yang telah engkau berikan padaku dan keluargaku... smoga engkau tetap berikan ya Allah...kebahagiaan pada hambamu ini, keluargaku dan orang-orang yang kusayangi... amin.
Tak lupa aku ucapkan terima kasih pada teman-teman FB yang telah memberikan ucapan selamatnya... smoga Allah SWT membalas kebaikan teman-teman semua.... amin.

Kamis, 29 September 2011

RENUNGAN 2

Ya allah kenapa kau berikan rasa ini pada hatiku... ku mencoba untuk menghindar...ku mencoba tuk menepis... tapi aku tidak berdaya..YA ALLAH maafkan hambamu ini....berilah kekuatan pada hambamu ini  agar tetap berada pada jalanmu ya Allah...amiin.  

Kamis, 16 Juni 2011

SILABUS FISIKA KELAS X (SEPULUH)

Silabus Fisika kelas X silakan klik disini oke !

Selasa, 17 Mei 2011

Basic Diagram of a PWR



METODOLOGI PEMBELAJARAN FISIKA


  Belajar dan Pembelajaran Fisika

1. Belajar Konsep

Belajar adalah suatu proses membuat pengertian melalui pengalaman dan terjadinya interaksi fikiran, perasaan dan tindakan.

Menurut Gagne (1984), belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Belajar dihasilkan dari pengalaman dan lingkungan di mana terjadi hubungan antara stimulus dan respon-respon.

Pavlov (behaviorist) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku yang dapat diamati dan melibatkan terbentuknya hubungan-hubungan tertentu antara satu seri stimulus- stimulus dan respon-respon.
Seorang guru yang menganut aliran ini berkeinginan untuk merubah perilaku siswanya yang tampak secara signifikan.

Gagne, Ausubel dan Bruner (Gestalt-field) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses perolehan atau perubahan wawasan (insight), pandangan (outlook), harapan atau pola pikir dan mendefinisikan bahwa belajar sebagai reorganisasi perseptual atau Cognitive-field untuk memperoleh pemahaman.

Seorang guru yang menganut teori ini berkeinginan untuk menolong siswanya mengubah pemahaman mereka tentang masalah-masalah dan situasi-situasi secara signifikan.

Proses belajar dapat merubah struktur otak yang berjalan terus menerus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang, sehingga perlulah difahami bahwa strategi belajar yang salah dan terus menerus dijalankan akan mempengaruhi struktur otak yang pada akhirnya akan mempengaruhi cara seseorang dalam berperilaku

2. Konsep
Konsep adalah hasil berfikir abstrak manusia yang merangkum banyak pengalaman, dengan lebih dari satu benda, peristiwa atau fakta dan menyangkut perkaitan fakta-fakta atau pemberian pola pada fakta-fakta, konsep itu semacam simbol dan merupakan suatu generalisasi.

Suatu konsep dapat dianggap kurang tepat disebabkan timbulnya pengetahuan baru sehingga konsep tersebut harus mengalami perubahan. Konsep itu berguna untuk membuat ramalan dan tafsiran.

Belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan. Konsep-konsep merupakan batu-batu pembangun (building blocks) berpikir. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses-proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi untuk memecahkan masalah seorang siswa harus mengetahui aturan-aturan yang relevan, dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-konsep yang diperolehnya.

Menurut Ausubel (1968) konsep-konsep diperoleh dengan dua cara, yaitu formasi konsep (concept formation) dan asimilasi konsep (concept assimilation). Formasi konsep merupakan bentuk perolehan konsep-konsep sebelum anak-anak masuk sekolah, dan dapat disamakan dengan belajar konsep-konsep konkrit (Gagne, 1977).

Asimilasi konsep merupakan cara utama untuk memperoleh konsep-konsep selama dan sesudah sekolah.

Pembentukan konsep merupakan proses induktif. Pembentukan konsep merupakan suatu bentuk belajar penemuan (discovery learning) dan pembentukan konsep mengikuti pola contoh atau aturan dimana anak yang belajar dihadapkan pada sejumlah contoh-contoh dan noncontoh-noncontoh dari konsep tertentu.

Melalui proses diskriminasi dan abstraksi ia menetapkan suatu aturan yang menentukan kriteria untuk konsep itu.

Setelah masuk sekolah anak diharapkan belajar banyak konsep melalui proses asimilasi konsep, asimilasi konsep bersifat deduktif. Dalam proses ini anak-anak diberikan nama-nama konsep dan atribut-atribut dari konsep itu, berarti mereka akan belajar arti konseptual baru yang kemudian mereka akan menghubungkan atribut-atribut ini dengan gagasan relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif mereka (Ausubel,1968).

Para perilakuwan (behaviorist) menekankan bahwa belajar konsep dipengaruhi oleh faktor-faktor:         - Pola reinforsmen dan umpan balik 
                               - Contoh-contoh positif dan negatif  
                               - Jumlah atribut –atribut                                                                     

Pendekatan perilaku mengemukakan bahwa belajar konsep menekankan prosedur-prosedur kondisi, sedangkan pendekatan kognitif menghubungkan belajar konsep pada struktur kognitif.

3. Belajar Penemuan

Jerome Bruner (1971), dalam teori belajarnya menganggap bahwa manusia sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi, karena individu yang belajar itu adalah manusia, membutuhkan motivasi dalam belajarnya, dapat dan bisa belajar serta dapat dan bisa berfikir. Teori belajarnya mengembangkan bagaimana seorang individu memilih, mempertahankan dan mentransformasi informasi secara aktif.

Bruner beranggapan, bahwa Belajar Penemuan (discovery learning) akan lebih bermakna karena:
a.       Belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif.
b.      Individu yang belajar berusaha sendiri menyelesaikan masalah.
c.  Dikatakan bermakna karena bertahan lama diingat, memiliki efek transfer lebih baik dan meningkatkan penalaran siswa serta kemampuan berfikir secara bebas
d.      Melatih keterampilan kognitif untuk menemukan dan memecahkan masalah.

A. Penerapan belajar penemuan:
a.    Dapat menggunakan pemahaman tentang struktur konsep atau melalui peta konsep
b.   Tujuan-tujuan mengajar dirumuskan secara garis besar
c.    Cara yang digunakan siswa untuk mencapai tujuan tidak perlu sama
d.  Guru mengarahkan pelajaran pada penemuan dan pemecahan masalah
e.    Guru tidak begitu mengendalikan proses belajar siswa
f.     Cara penyajian melalui enaktif (melalui tindakan), ikonik (berdasarkan pikiran internal) dan simbolik
g.   Penilaian hasil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi, dan aplikasi prinsip-prinsip itu pada situasi baru

B. Ciri–ciri dan kelebihan belajar penemuan:
a. Ciri-ciri:  - Terjadi proses interaktif, seorang individu yang belajar melalui suatu proses             dimana perubahan dari hasil belajar tidak terjadi pada lingkungan saja tetapi pada diri individu itu sendiri.
                   - Terjadi proses konstruksi, seorang individu yang belajar pada dirinya terjadi proses mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan untuk dapat mengkatagorikan sesuatu.
b. Kelebihannya: membuat anak berfikir secara sistematis, mengetahui poses bukan produk dan pembelajaran terpusat pada siswa.
                          
Belajar dan Model Pembelajaran Fisika

Belajar
Belajar adalah proses membuat pengertian melalui pengalaman, terjadinya interaksi fikiran, perasaan dan tindakan. Keterampilan mengajar bagi guru hendaknya tampak dalam tindakan mengajar sains, strategi dan metodologinya.
Teori belajar dikelompokkan menjadi dua pandangan yaitu Behaviorism dan Constructivism

Pandangan Behaviorism
Pavlov (behaviorist) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku yang dapat diamati dan melibatkan terbentuknya hubungan-hubungan tertentu antara satu seri stimulus- stimulus dan respon-respon.
Seorang guru yang menganut aliran ini berkeinginan untuk merubah perilaku siswanya yang tampak secara signifikan Kaum behaviorist menyatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan memanfaatkan dan menggunakan semua panca indera, yang berarti pembelajarannya mengutamakan keterampilan secara fisik
Belajar menurut kaum ini terjadi ikatan atau asosiasi antara peristiwa–peristiwa (stimulus) dengan tanggapan (respon) Terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon dapat dalam bentuk latihan (law of exercise).dan akibat (low of effect) disini unsur terpenting adalah adanya penguatan (reinforcement).

Pandangan Constructivism
Pandangan Constructivism yang dikemukakan oleh Gagne, Ausubel dan  Bruner (Gestalt-field ) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses perolehan atau perubahan wawasan (insight), pandangan (outlook), harapan atau pola pikir dan mendefinisikan bahwa belajar sebagai reorganisasi perseptual atau Cognitive-field untuk memperoleh pemahaman.

Seorang guru yang menganut teori ini berkeinginan untuk menolong siswanya mengubah pemahaman mereka tentang masalah-masalah dan situasi-situasi secara signifikan

Proses belajar dapat merubah struktur otak yang berjalan terus menerus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang, sehingga perlulah difahami bahwa strategi belajar yang salah dan terus menerus dijalankan akan mempengaruhi struktur otak yang pada akhirnya akan mempengaruhi cara seseorang dalam berperilaku.

Pada proses pembelajaran kontruktivisme pengetahuan dibangun oleh individu sendiri sebagai interaksi dengan lingkungannya. Konstruktivis yang dikembangkan oleh Piaget, mempunyai pandangan bahwa seorang anak membangun pengetahuannya melalui berbagai jalan yaitu membaca, mendengar, bertanya, menelusuri dan melakukan eksperimen terhadap lingkungannya.

Tujuan pendekatan konstruktivis adalah menghasilkan individu yang memiliki kemampuan berfikir yang dikonstruksi sendiri melalui latihan pemecahan masalah, sehingga memiliki cara yang sesuai dengan dirinya. Guru berfungsi sebagai mediator dan fasilitator dalam proses mengkonstruksi pengetahuan untuk siswanya.

Kaum konstruktivis terbagi dalam:
(a) konstruktivisme kognitif atau personal
(b) konstruktivisme sosial
(c) konstruktivisme kritis

Piaget (konstruktivisme kognitif) berpandangan bahwa pengetahuan dibangun melalui mendengar, membaca, bertanya dan bereksperimen.

Konstruktivis sosial mempunyai pandangan bahwa belajar dilakukan dengan cara berinteraksi dengan lingkungan sosial maupun fisik seseorang dengan demikian akan timbul konteks sosial budaya dengan lingkungannya, sehingga terbentuk sikap menemukan (discovery) bagi seseorang yang belajar

Konstruktivis kritis (Ausubel) berpandangan bahwa faktor yang paling penting dalam mempengruhi proses belajar adalah apa yang diketahui seseorang yang belajar. Ausubel lebih menekankan pada proses belajar bermakna yang berarti bahwa konsep atau informasi baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah ada di dalam struktur kognitif. Perlu dilakukan suatu usaha, agar objek belajar (siswa) mampu mengikuti penjelasan dari gurunya untuk suatu konsep yang baru berdasarkan pemahaman yang siswa miliki. Dalam proses belajar mengajar, guru bersikap sebagai mediator untuk menjembatani antara pengetahuan yang sudah dimiliki oleh siswa dengan pengetahuan yang hendak diperoleh siswa.

Pembelajaran untuk individu yang belajar dituntut menggunakan kedua pandangan tersebut.

Model Pembelajaran
Seorang guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya harus memiliki keterampilan dan mendalami bentuk-bentuk model pembelajaran.
Model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu pola mengajar yang menerangkan proses, menyebutkan dan menghasilkan situasi lingkungan tertentu yang menyebabkan para siswa berinteraksi dengan cara terjadinya perubahan khusus pada tingkah laku mereka, dengan kata lain penciptaan suatu situasi lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Model-model pembelajaran dapat dikembangkan antara lain melalui perbedaan pendekatan dalam proses pembelajarannya sehingga diharapkan terjadi perubahan tingkah laku para siswa. Untuk maksud itulah dikembangkan bermacam-macam model pembelajaran untuk menolong guru dalam meningkatkan kemampuannya dalam mengelola pembelajarannya sehingga dapat menjangkau lebih banyak siswa dan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kaya dan lebih luas bagi mereka.

Ciri-ciri suatu Model Pembelajaran
Suatu model pembelajaran yang baik mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut:
  1. Memiliki Scientific procedure, maksudnya model pembelajaran harus memiliki suatu prosedur sistimatis untuk merubah tingkah laku para siswa.
  2. Memiliki perincian dari hasil belajar (specification of learning outcome), maksudnya semua model pembelajaran menyebutkan hasil-hasil belajar secara mendetail mengenai penampilan siswa (student performance).
  3. Menyebutkan lingkungan belajar (specification of environment), maksudnya setiap model pembelajaran menyebutkan secara pasti kondisi- kondisi lingkungan dimana respon para siswa diobservasi.
  4. Kriteria penampilan (criterion of performance) maksudnya suatu model pembelajaran menunjukkan kriteria penampilan yang diharapkan dari para siswa dan merencanakan tingkah laku yang diharapkan dari siswa yang dapat didemonstrasikannya setelah langkah-langkah pembelajaran tertentu.
  5. Cara-cara pelaksanaannya (specification of operations), maksudnya semua model pembelajaran menyebutkan mekanisme yang menunjukkan reaksi–reaksi siswa dan interaksinya dengan lingkungan.

Mengapa perlu dikembangkan model pembelajaran? Apakah fungsi dan peranannya?

Fungsi dan peran model pembelajaran:
Seperti sudah kita ketahui bahwa model pembelajaran bermaksud menolong para guru dalam proses belajar mengajar dan memegang peranan dalam beberapa hal yaitu:
-   Membimbing. Suatu model pembelajaran sangat berguna dalam menolong guru menentukan apa yang harus dilakukannya dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran.
-  Mengembangkan kurikulum.  Suatu model pembelajaran menolong pengembangan kurikulum bagi kelas-kelas pada tingkat pendidikan yang berbeda.
-   Penentuan materi pelajaran.  Suatu model pembelajaran menyebutkan secara mendetail macam-macam jenis materi pengajaran yang akan digunakan oleh guru demi terjadinya perubahan-perubahan pada kepribadian para siswa.
-     Peningkatan dalam mengajar.  Suatu model menolong proses belajar mengajar dalam hal peningkatan efektifitas mengajar.

Syntax beberapa model pembelajaran:
            Berikut ini dikemukakan bebrapa syntax model pembelajaran yang dapat kita gunakan dalam pembelajaran fisika.

1. Syntax Model Pembelajaran Penylidikan Berkelompok (Group
Investigation).
Fase satu: Menghadapi Masalah, dalam fase ini siswa dihadapkan pada suatu kondisi/peristiwa yang membuat siswa bertanya-tanya. 
Fase dua: Reaksi, dalam fase ini siswa mendiskusikan dan menuliskan kemungkinan jawaban terhadap kejadian tersebut dalam kelompoknya.
Fase tiga: Formulasi, dalam fase ini siswa menentukan apa yang harus dipelajari oleh masing-masing anggota kelompok, peran setiap anggota kelompok. 
Fase empat: Penyelidikan, di fase ini siswa secara berkelompok melakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran jawabannya.
Fase lima: Analisis, dalam fase ini siswa siswa menganalisa dan melaporkan hasil penelitiannya.
Fase enam: Pengulangan kegiatan, siswa mengulangi kegiatan fase dua sampai lima jika menemukan persoalan/masalah baru.

2. Syntax Model Pembelajaran Berpikir Induktip
            Strategi satu: Pembentukan Konsep
·         Fase satu: siswa menyebutkan dan menyusun daftar data.
·         Fase dua: siswa mengelompokan data.
·         Fase tiga: siswa memberi nama dan mengkategorikan/klasifikasi data.

Strategi dua: Interpretasi Data
·            Fase empat: siswa mengidentifikasi hubungan antar data yang diperolehnya.
·            Fase lima: siswa menyelidiki bagaimana hubungan itu.
·            Fase enam: siswa  membuat kesimpulan.

Strategi tiga: Aplikasi konsep/prinsip
·   Fase tujuh: siswa meramalkan konsekuensi, menjelaskan kejadian/fenomena yang tidak umum, berhipotesa.
·  Fase delapan: siswa menjelaskan atau mendukung prediksi dan hipotesa yang telah dibuatnya.
·      Fase sembilan: siswa membuktikan prediksinya.

3. Syntax Model pembelajaran Pelatihan Inquiry
            Fase satu: Menghadapi Masalah
  • Guru memberikan masalah dan menerangkan langkah-langkah penyelidikan
  • Guru menyajikan fenomena yang memerlukan beberapa penjelasan/jawaban yang harus dicari oleh siswa.
Fase dua: Mengumpulkan data lewat verifikasi.
·            Siswa mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan fenomena yang terjadi.
·            Siswa menghubungkan data-data tersebut dengan apa yang pernah mereka lihat atau alami.
Fase tiga: Mengumpulkan data lewat eksperimen (percobaan)
·            Siswa mencari dan menentukan variabel-variabel yang berhubungan dengan fenomena yang disajikan melalui percobaan.
·            Melalui percobaan, siswa berusaha membuktikan jawabannya/hipotesanya.
Fase empat: Mengolah data dan memformulasi penjelasan.
·            Siswa mengolah dan menganalisa data yang diperolehnya dan membentuk suatu penjelasan tentang fenomena/masalah  yang dialaminya di awal pembelajaran.
Fase lima: Analisa tentang proses penyelidikan.
·        Siswa mengemukakan kesulitan- kesulitan yang dialaminya selama melakukan penyelidikan dan mencari jalan keluar agar dapat melakukan kegiatan yang serupa lebih baik lagi.

4. Syntax Model Pembelajaran Simplified Problem Based Learning
            Model yang disederhanakan ini adalah sebuah model yang langkah-langkah/fase-fase nya dapat diulang. Langkah dua sampai lima dapat diulang dan ditinjau kembali jika da informasi/pengetahuan baru sehingga memerlukan pendefinisian kembali masalah yang telah dipaparkan kepada siswa. Langkah ke enam dapat terjadi beberapa kali manakala guru memberi penekanan/penguatan pada apa yang dilakukan siswa sebelumnya.

            Fase satu: Pemberian Masalah
·            Siswa mendapatkan masalah yang telah disusun oleh guru. Siswa tidak perlu mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memecahkan masalah tersebut. Hal ini berarti siswa harus berkelompok untuk mencari /mempelajari informasi/pengetahuan atau ketrampilan baru untuk terlibat dalam proses pemecahan masalah.
Fase dua: Menuliskan Apa yang Diketahui
·            Siswa berkelompok menuliskan apa yang mereka ketahui dari permasalahan yang diberikan guru.
Fase tiga: Menuliskan Inti Permasalahan
·            Siswa menuliskan pernyataan tentang inti permasalahan/yang dipertanyakan dan harus muncul dari siswa.
Fase empat: Menuliskan cara pemecahan masalah
·            Siswa menuliskan beberapa cara untuk memecahkan masalah tersebut dan memutuskan mana yang terbaik.
Fase lima: Menuliskan tindakan/kerja yang akan dilakukan
·            Siswa menuliskan dan mengerjakan tindakan/kerja yang mereka lakukan untuk memcahkan masalah tersebut.
Fase enam: Melaporkan hasil kegiatan
·            Siswa melaporkan hasil kegiatannya kepada kelas yang meliputi proses yang dilakukan dan hasilnya.

Hakekat IPA (Fisika)

Fisika dapat dipandang sebagai sebuah produk, proses dan perubahan sikap. Jika dipandang sebagai sebuah produk maka yang kita lihat Fiska adalah sekumpulan fakta, konsep, hukum/prinsip, rumus dan  teori yang harus kita pelajari dan fahami. Fisika berisi fenomena, dugaan, hasil-hasil: pengamatan, pengukuran dan penelitian yang dipublikasikan, jika kita melihatnya sebagai sebuah proses. Jika dilihat sebagai suatu perubahan sikap, maka Fisika akan berisi rasa ingin tahu, kepedulian, tanggung jawab, kejujuran, keterbukaan dan kerjasama. Seseorang yang membelajarkan dirinya dan orang lain dalam bidang fisika, seharusnya tidak memilih salah satu dari pandangan tersebut. Ketiga pandangan tersebut harus dipilih sebagai satu kesatuan sehingga proses pembelajaran dapat menghasilkan siswa yang berkompetensi tinggi. Hasil yang baik dari suatu proses pembelajaran akan ditentukan oleh kesesuaian antara bahan ajar dengan model pembelajaran yang dipilih guru. Berikut ini kita lihat contoh silabus dalam KTSP:

Kompetensi Dasar
Indikator
Pengalaman belajar
Penilaian
1.1 Mendeskripsikan besaran pokok dan besaran turunan beserta satuannya

·      Mengidentifikasi besaran-besaran fisika dalam kehidupan sehari-hari kemudian mengelompokkannya ke dalam besaran pokok dan turunan.
-  Menunjukkan beberapa besaran  yang biasa digunakan sehari-hari
-  Membedakan besaran-besaran tersebut sebagai besaran pokok dan besaran turunan
-  Mendiskusikan pengertian besaran pokok dan besaran turunan

Tes tertulis


·      Menggunakan satuan Internasional dalam pengukuran
-  Menunjukkan beberapa satuan yang biasa digunakan secara internasional
-  Menggunakan satuan internasional dalam melakukan pengukuran

Tes tertulis
Tes kinerja

·      Mengkonversi satuan panjang, massa dan waktu secara sederhana
-  Mendiskusikan cara mengkonversi satuan dari besaran yang sejenis
-  Menunjukkan konversi satuan dari suatu besaran yang sejenis

Tes tertulis


            Setelah melihat indikator dan pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa, apakah kita masih melihat Fisika sebagai salah satu dari sebuah produk, proses atau perubahan sikap? Jika kita lihat contoh silabi di atas, terlihat jelas bahwa membelajarkan siswa dalam fisika berarti melatih mereka untuk mempunyai kemampuan yang baik dalam ranah-ranah kognitf, afektif dan psikomotor. Bagaimana kita menyiapkan kelas kita untuk mencapai hal ini ?

Belajar Bermakna/Teori Subsumsi

(David Ausubel)

Ihtisar (overview)
Teori Ausubel lebih memperhatikan bagaimana individu belajar sejumlah materi secara bermakna dari sajian verbal/teks di sekolah (berbeda dengan teori-tori yang dikembangkan dalam konteks percobaan-percobaan yang dilaksanakan di laboratorium). Menurut Ausebel, belajar dapat dikategorikan ke dalam 2 dimensi. Dimensi pertama, berhubungan dengan cara bagaimana informasi/materi pembelajaran tersebut disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif (fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa) yang telah ada. Kedua dimensi tersebut, yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu continuum.
Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna. Menurut Ausebel, belajar bermakna akan terjadi bila si pembelajar dapat mengaitkan informasi yang baru diperolehnya dengan konsep-konsep (dikenal sebagai subsumer-subsumer) relevan yang terdapat dalam struktur kognitif si pembelajar tersebut. Akan tetapi, bila si pembelajar hanya mencoba menghafalkan informasi baru tadi tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, kondisi ini dikatakan sebagai belajar hafalan.
Seperti kita tahu bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Dengan berlangsungnya belajar akan dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel-sel otak terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang sedang dipelajari. Dalam belajar bermakna, informasi baru diasimilasikan pada subsumer-subsumer relevan yang yang telah ada dalam struktur kognitif. Proses interaktif antara informasi yang baru dipelajari dengan subsumer-subsumer yang telah ada tersebut dikenal sebagai proses subsumsi. Belajar bermakna yang baru mengakibatkan pertumbuhan dan modifikasi subsumer-subsumer yang telah ada tersebut.
Informasi yang dipelajari secara bermakna, biasanya lebih lama diingat daripada informasi yang dipelajari secara hafalan. Tetapi, ada kalanya unsur-unsur yang telah tersubsumsi tidak dapat dikeluarkan lagi dari memori (sudah dilupakan), hal ini terjadi karena beberapa bagian subsumer berintegrasi dengan yang lain sehingga mereka kehilangan identitas individunya. Dapat juga, karena subsumer tersebut telah kembali pada keadaan sebelum terjadi subsumsi.  Kondisi seperti ini menurut Ausebel disebut subsumsi obliteratif (subsumsi yang telah rusak).
Teori Ausubel di atas, nampaknya memiliki kesamaan-kesamaan (commonalities) dengan teori Gestalt dan keduanya melibatkan suatu  skema  sebagai suatu prinsip yang sentral. Juga teori Ausebel ini memiliki kesamaan dengan ”model belajar spiral yang dikemukakan oleh Bruner.  Selanjutnya, walupun Ausebel menekankan bahwa subsumsi melibatkan reorganisasi dari struktur kognitif yang ada tapi tidak mengembangkan struktur yang baru seperti yang disarankan para ahli konstruktivisme. Ausubel kelihatan dipengaruhi juga oleh hasil kerja dari Piaget untuk perkembangan kognitif.
Walaupun Ausebel sangat menekankan agar para guru diharapkan mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki para siswanya agar belajar bermakna dapat berlangsung, tetapi Ausebel belum dapat menyediakan alat untuk mengukur hal tersebut. Baru ahli pendidikan berikutnya, yaitu Novak (1985) dalam bukunya Learning how to learn mengemukakan bahwa hal tersebut dapat digali melalui pertolongan yang dikenal dengan peta konsep atau pemetaan konsep.
Bagaimana sebenarnya subsumer-subsumer tersebut diperoleh dan dibentuk?
Menurut Ausebel, konsep-konsep dapat diperoleh dalam 2 (dua) cara; yaitu (1) sebelum anak-anak masuk sekolah yang disebut formasi konsep dan (2) pada saat selama dan sesudah sekolah yang dikenal dengan asimilasi konsep. Jadi, waktu anak masuk usia sekolah mereka sudah memperoleh konsep-konsep seperti; meja, atas, kursi, berlari, dan lain-lain. Konsep-konsep tersebut disimpan dalam struktur kognitif yang disebut dengan subsumer-subsumer. Selanjutnya, Ausebel mengatakan bahwa pembentukan konsep tersebut merupakan suatu bentuk belajar penemuan (discovery learning), paling sedikit dalam bentuk primitif, melibatkan proses-proses psikologi seperti analisis, diskriminatif, abstraksi, diferensiasi, pembentukan hipotesis dan pengujian, dan generalisasi. Pembentukan konsep ini juga ditunjukkan oleh orang-orang dewasa dalam situasi kehidupan nyata dan dalam laboratorium, tetapi dengan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi.
Faktor dan prasyarat apa saja yang mempengaruhi belajar penerimaan bermakna itu?
Menurut Ausebel, faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi yang baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif tersebut stabil, jelas, dan teratur dengan baik maka arti-arti yang sahih (valid) dan jelas akan timbul, dan cenderung bertahan. Sebaliknya, jika struktur kognitif tersebut tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur maka struktur kognitif tersebut cenderung menghambat belajar dan retensi.
Selanjutnya, menurut Ausebel ada prasyarat-prasyarat tertentu agar terjadinya belajar bermakna. Pertama, materi yang dipelajari harus bermakna secara potensial, maksudnya materi pelajaran tersebut harus memiliki kebermaknaan logis. Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang konsisten dengan apa yang telah diketahui (disebut materi nonarbitrer) dan materi tersebut dapat dinyatakan dalam berbagai cara, tanpa mengubah arti (disebut materi substantif). Selain itu, aspek lain dari materi bermakna potensial ini adalah dalam struktur kognitif siswa harus ada gagasan-gagasan yang relevan. Artinya, pembelajaran harus memperhatikan pengalaman siswa, tingkat perkembangan mereka, intelegensi, dan usia. Bila para siswa tidak memiliki pengalaman yang diperlukan mereka untuk mengaitkan atau menghubungkan isi pembelajaran tersebut, maka isi pembelajaran akan dipelajari secara hafalan.
Kedua, siswa yang akan belajar harus mempunyai niat/tujuan dan kesiapan untuk melaksanakan belajar bermakna. Tujuan belajar siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Banyak siswa yang mengikuti pembelajaran nampaknya tidak relevan dengan kebutuhan mereka pada saat itu. Dalam pembelajaran yang demikian, materi dipelajari secara hafalan. Para siswa kelihatan dapat memberikan jawaban yang benar tanpa menghubungkan materi itu pada aspek-aspek lain dalam struktur kognitif mereka.
 Jadi, agar terjadi belajar bermakna materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memasukkan materi pembelajaran tersebut ke dalam struktur kognitifnya, dan dalam struktur kognitif siswa harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengaitkan atau menghubungkan materi yang baru tersebut secara non-arbitrer dan substantif. Jika salah satu komponen ini tidak ada, maka materi itu kalaupun dipelajari, akan dipelajari secara hafalan saja (Roser, 1984).
Apa kelebihan dari belajar bermakna tersebut?
Menurut Ausebel dan Novak, ada 3 (tiga) kebaikan dari belajar bermakna, yaitu:
1.      Informasi yang dipelajari secara bermakna akan lebih lama diingat.
2.      Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
3.      Informasi yang dilupakan setelah subsumsi obliteratif, meninggalkan efek residual pada subsumer, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah terjadi peristiwa “lupa”.
Pembelajaran yang bagaimana agar berlangsung belajar bermakna tersebut?
Ausebel berpendapat bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui siswa. Inilah yang harus diyakini dan pembelajaran terhadap siswa harus didasarkan kepada hal ini.
Selanjutnya, agar terjadi belajar bermakna seperti yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa konsep dan prinsip-prinsip lain yang perlu diperhatikan. Pertama, mengenai mekanisme pembelajaran yang utama yang diusulkan Ausebel adalah menggunakan advance organizers (pengatur awal). Organizers tersebut diperkenalkan pada bagian awal/pendahuluan dari suatu pembelajaran, dan juga disajikan dengan abstraksi tingkat tinggi, secara umum, dan paling inklusif (inclusiveness). Selanjutnya, Ausubel menekankan bahwa advance organizers adalah berbeda dari overviews (ikhtisar) dan summary (kesimpulan) yang secara sederhana  menekankan pada ide-ide kunci dan disajikan secara umum  pada bagian akhir dari materi pembelajaran yang disampaikan. Organizers bekerja sebagai suatu  jembatan atau semacam pertolongan mental pengsubsumsian antara materi pembelajaran yang baru dengan ide-ide yang sudah ada. Dengan kata lain, pengatur awal ini mengarahkan siswa ke materi yang akan mereka pelajari, dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat dipergunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan yang baru.
Kedua, adalah selama belajar bermakna berlangsung, perlu terjadi pengembangan dan elaborasi konsep-konsep yang tersubsumsi. Menurut Ausubel, pengembangan konsep berlangsung paling baik, bila unsur-unsur yang paling umum, paling ingklusif dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahulu, dan kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Jadi, model belajar yang diusulkan oleh Ausubel adalah  dari hal umum ke hal khusus. Oleh karena itu, dalam memberikan proses pembelajaran kepada siswa kita harus pandai-pandai memilih mana konsep yang bersifat umum dan superordinat dan mana konsep-konsep yang bersifat lebih khusus dan subordinat.  Proses penyusunan konsep seperti itu dikatakan diferensiasi progresif.
Ketiga, adalah mengenai prinsip penyesuaian/rekonsiliasi integratif. Kadang-kadang siswa dihadapkan kepada suatu kenyataan yang disebut pertentangan/komplik kognitif (cognitive dissonance/conflict). Menurut Ausebel, dalam pembelejaran bukan hanya urutan menurut diferensiasi progresif saja yang diperhatikan, melainkan juga harus diperhatikan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep-konsep superordinat. Kita harus memperlihatkan secara eksplisist bagaimana arti-arti baru dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagaimana konsep-konsep yang tingkatanya lebih tingi sekarang mengambil arti baru.

Konstruktivisme

Pendahuluan
            Konstruktivisme adalah sebuah nama yang diberikan untuk sekumpulan teori belajar yang daerah cakupannya berada diantara pandangan/teori kognitif dan humanistik (perilaku manusia). Jika pandangan behavioristik melihat mahluk hidup sebagai sebuah kotak hitam, maka teori kognitif melihat perlunya kemampuan berpikir (mind) dalam memaknai sesuatu yang muncul di depannya. Meskipun demikian, masih ada orang yang berpendapat bahwa peran seorang pelajar(siswa) adalah melulu untuk meniru apa yang dilakukan/diberikan oleh gurunya ( digugu ditiru). Konstruktivisme terutama dalam kehidupan social, memandang bahwa siswa harus lebih aktif terlibat dalam suatu usaha kerjasama dengan gurunya dalam menciptakan (membangun) sebuah pemahaman baru tentang apa yang seddang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan sebuah paham/teori (yang dipelopori oleh John Dewey) yang baru saja lahir, tapi ada kemungkinan kita baru mulai mengenalnya. Paham ini dapat kita tinjau dari sisi perkembangan kognitif dan sosial seorang anak manusia.

Konstruktivisme, perkembangan kognitif dan sosial anak
            Perkembangan seorang anak manusia dapat dilihat melalui dua sisi yaitu perkembangan kognitif dan perkembangan sossialnya. Berdasarkan peninjauan dari kedua sisi tersebut maka kita dapat membagi konstruktivisme menjadi dua sisi yang satu sama lain saling memperkuat yaitu:

  • Konstruktivisme Kognitif
Di sisi ini para ahli pendidikan ( Dewey, Piaget) memandang bahwa belajar adalah bagaimana seorang individu mengerti dan memahami sesuatu yang dipelajarinya dalam sebuah proses yang berkaitan dengan tahap-tahap perkembangan mental dan gaya belajar dari individu tersebut.



  • Konstruktivisme sosial
Di daerah ini para ahli pendidikan yang dipelopori oleh Vygotsky melihat bahwa pengertian dan pemahaman sesuatu yang dipelajari seorang anak  berkembang/ tumbuh dari interaksi dengan lingkungan sosialnya.

Adanya dua sisi ini memperlihatkan bahwa berbagai macam teori belajar yang ada mempunyai kecocokan dengan kerangka kerja para penganut konstruktivisme. Para konstruktivist menekankan pentingnya pembelajar(siswa) sebagai “pembuat pengertian” (maker of meanings) yang artinya siswa adalah pusat dari kegiatan pembelajaran. Guru berperan sebagai mitra dialog siswa agar siswa tersebut dapat membangun pengertian dan pemahamannya sejalan dengan orang-orang di sekitarnya. Ada dua hal yang mendukung pengelolaan pembelajaran yang disebutkan tadi yaitu:

  • Pandangan John Dewey menekankan perlunya pengalaman belajar yang didapat siswa dalam proses pendidikannya.
  • Hasil penelitian Piaget memperlihatkan bahwa isi pikiran seorang anak tidaklah kosong tapi mengolah dengan aktif apa yang dialami dan dilihatnya melalui mekanisme akomodasi dan asimilasi.
Paparan tersebut di atas akan membantu kita dalam memahami apa yang disebut konstruktivisme itu.

Arti Konstruktivisme
            Istilah konstruktivisme mengacu kepada pemikiran bahwa pembelajar(siswa) membentuk/membangun sendiri pengetahuannya. Setiap orang secara individual atau berkelompok membentuk/membangun pengertian/pemahaman tentang apa yang dipelajarinya. Membentuk/membangun pengertian/pemahaman adalah sama dengan belajar, tidak ada arti/kata lain untuk medefinisikan belajar. Ada dua konsekuensi yang kita hadapi dari pandangan ini:

  1. Guru harus memperhatikan apa yang siswa pikirkan tentang apa yang dipelajarinya bukan bahan ajarnya.
  2. Tidak ada pengetahuan yang berdiri sendiri yang berkaitan dengan pemahaman yang dibangun siswa terhadap apa yang dialami dan dipelajarinya.

Kedua konsekuensi di atas akan membuat kita para guru untuk dapat menyeimbangkan antara memberi tahu siswa tentang mana yang paling benar atau membiarkan mereka membentuk alam pikirannya sendiri.

Prinsip-prinsip Pembelajaran Konstruktivist
            Para konstruktivist menyusun beberapa prinsip untuk memandu para guru jika melakukan pembelajaran yang mengacu pada pandangan konstruktivisme. Prinsip-prinsip ini disusun berdasarkan keyakinan bahwa pembelajaran mengandung pembentukan pemahaman yang dilakukan oleh individu-individu yang terlibat dalam pembelajaran, sehingga susunannya seperti berikut:

  1. Pembelajaran adalah sebuah proses aktif dimana siswa menggunakan sensor inputnya dan membentuk/membangun pemahamannya.
  2. Siswa belajar untuk mempelajarai apa yang mereka pelajari. Pembelajaran berisi baik membentuk/membangun pemahaman dan membentuk/membangun system pemahaman.
  3. Pembentukan/pembangunan pemahaman adalah proses mental, terjadi dalam pikiran/otak.
  4. Bahasa yang digunakan mempengaruhi pembelajaran.
  5. Pembelajaran adalah sebuah kegiatan social, menyangkut hubungan antar individu dan kelompok.
  6. Pembelajaran haruslah bersifat kontekstual.
  7. Seseorang memerlukan pengetahuan utnuk dapat mempelajari sesuatu.
  8. Pembelajaran memerlukan waktu.
  9. Motivasi adalah komponen kunci dalam pembelajaran.
Kesembilan prinsip tadi harus ada dalam benak seorang guru jika dia membelajarkan anak didiknya dalam dunia konstruktivisme.

Pengaruh Konstruktivisme Terhadap Pembelajaran
            Konstruktivisme berpengaruh terhadap pembelajaran dalam tiga hal yaitu kurikulum, kegiatan belajar mengajar dan asesmen. Pengaruh kontruktivisme dalam tiga hal tadi kita uraikan sebagai berikut:
  • Kurikulum.
Konstruktivisme menghindari penggunaan kurikulum yang seragam karena paham ini mengakui adanya pengetahuan awal siswa sebelum pembelajaran berlangsung. Paham ini menghendaki adanya kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan awal siswa. Paham ini juga sangat mementingkan adanya hands-on problem solving.

  • Kegiatan Belajar Mengajar
Dalam area konstruktivisme, pusat perhatian guru adalah bagaimana menghubungkan fakta-fakta di sekitarnya dan memperkuat pemahaman yang baru diperoleh oleh siswa. Guru harus merancang strategi belajar mengajarnya agar dapat mengakomodir respon siswanya dan membimbing siswanya, sehingga siswa berkemampuan untuk melakukan analisa, interpretasi dan memprediksi sesuatu berdasarkan data/informasi yang diperolehnya. Guru juga harus banyak menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat open-ended agar terjadi dialog yang baik di dalam kelas.

  • Assessment
Konstruktivisme menghindari penggunaan penilaian yang melulu mengacu pada  tes yang seragam untuk menentukan nilai pencapaian siswa. Assessment menjadi bagian penting dari kegiatan belajar mengajar, sehingga siswa mempunyai peran yang lebih besar dalam menilai apa yang telah mereka capai.

Hal-hal tersebut memperlihatkan bahwa dalam konstruktivisme, siswa adalah pusat kegiatan yang harus difasilitasi oleh yang lebih dewasa(guru). Salah satu fasilitas yang dapat disediakan oleh guru dalah memilih model pembelajaran yang dapat mewadahi prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme di atas. Model-model pembelajaran itu seperti Inquiry, Problem Based Learning, Colaborative Learning, Berpikir Induktip dan  berbagai tipe dari strategi Cooperative Learning. Model-model pembelajaran ini harus dipelajari tahapan-tahapan penyajiannya di kelas dengan seksama oleh guru sebelum digunakan.

Pendekatan Keterampilan Proses Dalam IPA

A.    Hakikat IPA (Ilmu Pengetahuan Alam)
IPA atau ilmu pengetahuan alam adalah ilmu yang pokok bahasannya adalah alam dengan segala isinya. Hal yang dipelajari dalam IPA adalah sebab-akibat, hubungan kausal dari kejadian-kejadian yang terjadi di alam. Menurut Powler (Winataputra dkk. 1993) IPA adalah ilmu yang sistematis dan dirumuskan yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan induksi. Carin dan Sund (1993) mendefinisikan IPA sebagai pengetahuan yang sistematis atau tersusun secara teratur, berlaku umum, dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. Sesuai dengan kenyataan bahwa aktivitas dalam IPA selalu berhubungan dengan percobaan-percobaan yang membutuhkan keterampilan dan kerajinan. Dengan demikian IPA bukan hanya kumpulan pengetahuan tentang benda tak hidup dan makhluk hidup, tetapi menyangkut cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah. Ilmuwan IPA selalu tertarik dan penuh perhatian terhadap peristiwa alam, selalu ingin mengetahui apa, bagaimana, dan mengapa tentang suatu gejala alam dan hubungan kausalnya.

Di dalam IPA, terdapat tiga unsur utama, yaitu sikap, proses atau metodologi, dan hasil yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Sikap dalam hal ini adalah sikap manusia yang selalu ingin tahu tentang benda-benda, makhluk hidup, hubungan sebab-akibatnya, akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang selalu ingin dipecahkan dengan prosedur yang benar. Prosedur tersebut meliputi metode ilmiah. Metode ilmiah mencakup hipotesis, pembuatan desain eksperimen atau evaluasi atau pengukuran, dan akhirnya menghasilkan suatu produk berupa fakta,  prinsip, teori, hukum, dan sebagainya.

IPA yang saat ini berkembang disebut sebagai IPA modern. Berbeda dengan IPA sebelumnya, pada IPA modern digunakan matematika atau statistika dalam pengukuran dan perhitungan untuk menetapkan kebenaran. IPA yang demikian disebut juga dengan IPA kuantitatif, sedangkan IPA yang tidak menggunakan matematika atau statistika untuk menentukan kebenaran disebut IPA kualitatif. Pada IPA kuantitatif kebenaran ilmiah atas suatu konsep diperoleh bila konsep atau pernyataan tersebut telah sesuai dengan objek atas dasar pengamatan.

B.     Proses Pembelajaran
Prinsip proses pembelajaran adalah belajar, sedangkan belajar adalah suatu proses perubahan perilaku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Oleh karena itu, pembelajaran adalah upaya penataan lingkungan yang kondusif sehingga proses belajar dapat tumbuh dan berkembang. Karena pembelajaran bersifat rekayasa perilaku, maka proses pembelajaran terikat dengan tujuan. Dari sudut pandang sosiologis, proses pembelajaran adalah proses penyiapan peserta didik untuk dapat menjalankan kehidupannya di masyarakat. Sekolah adalah suatu sistem sosial yang merupakan miniatur masyarakat luas. Oleh karena itu, proses pembelajaran tidak akan terlepas dari proses sosialisasi, dan apa yang dipelajari di sekolah seharusnya merupakan cerminan keadaan nyata di sekitar peserta didik yang dapat dimanfaatkan atau diimplementasikan dalam masyarakat.

Permasalahan dalam proses pembelajaran dewasa ini adalah kecenderungan bahwa para siswa hanya terbiasa menggunakan sebagian kecil saja dari potensinya atau kemampuan berpikirnya. Dikhawatirkan mereka menjadi malas untuk berpikir dan terbiasa malas berpikir mandiri. Kecenderungan ini sama saja dengan proses pemandulan dan sama sekali bukan proses pencerdasan. Para siswa dan juga gurunya masih terbiasa belajar dengan domain kognitif rendah. Oleh karena itu, metode berpikir dalam kegiatan mereka belajar pun belum menyentuh domain afektif dan konatif yang diperlukan. Aspek lain berkenaan dengan konsep diri dan proses mengembangkan kemandirian dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku. Belajar berani berpikir objektif, apalagi berbeda dengan buku dan keterangan guru, berpikir logis atau kritis, dialogis dan argumentatif umumnya masih langka di sekolah-sekolah kita. Selain itu sistem penilaian secara formatif masih amat terbatas jika dibandingkan dengan penilaian sumatif.

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas riil di lapangan, kegiatan pembelajaran di sekolah pada umumnya cenderung monoton dan tidak menarik, sehingga beberapa pelajaran ditakuti dan selalu dianggap sulit oleh siswa, misalnya matematika dan IPA. Hal ini ditunjukkan oleh adanya korelasi positif dengan perolehan Nilai Ujian Nasaional (NUN) pelajaran tersebut yang selalu menempati urutan terendah. Beberapa penyebabnya adalah karena pembelajaran IPA di sekolah: (a) lebih menekankan pada aspek kognitif dengan menggunakan hafalan dalam upaya menguasai ilmu pengetahuan, bukan mengembangkan ketrampilan berpikir, (b) mengembangkan aktualisasi konsep, tanpa diimbangi  pengalaman konkret dan eksperimen aktif, dan (c) hanya menyangkut substansinya, tanpa mengembangkan kemampuan melakukan hubungan dengan proses-proses mental seperti penalaran dan sikap ilmiah (Supangkat, 1991). Temuan Slimming (1998) yang meneliti perilaku mengajar para guru di Indonesia juga menunjukkan bahwa  umumnya para guru cenderung mengembangkan pembelajaran pasif dengan menggunakan metode ceramah di sebagian besar aktivitas proses pembelajarannya di kelas.
Permasalahan di atas semestinya menjadi perhatian serius dari pemerintah dengan upaya mencari terobosan-terobosan dalam memecahkannya, baik melalui pengembangan materi pembelajaran baru maupun melalui pemberdayaan metodik-didaktik yang sudah ada. Di samping faktor penunjang lain di luar akademik antara lain penyediaan alat IPA yang bermutu, baik, dan dapat mengembangkan pembelajaran dengan paradigma baru tersebut.
Tujuan kurikulum dengan paradigma yang baru pada prinsipnya adalah tetap conceptual mastery, tetapi hal tersebut diperoleh dengan pendekatan berbasis kompetensi, dengan tujuan agar sistem pendidikan nasional dapat merespon secara proaktif terhadap perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan tuntutan desentralisasi. Dengan demikian, lembaga pendidikan tidak akan kehilangan relevansi program pembelajarannya dengan kepentingan daerah dan karakteristik peserta didik, serta tetap memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan kurikulum yang berdiferensiasi.

Peserta didik dituntut untuk menguasai konsep-konsep dasar yang telah dipilih secara selektif melalui aktivitas pembelajaran yang berorientasi pada aktivitas siswa. Siswa harus mampu mengkonstruksi pengetahuan melalui aktivitas kontekstual yang dikembangkan dalam pembelajaran dimana siswa terlibat langsung dalam pengalaman sehari-hari yang berkaitan dengan materi yang diajarkan, aktif melakukan eksperimen, melakukan pengolahan data, dan membuat kesimpulan. Dengan demikian, pembelajaran yang dikembangkan di dalam kelas perlu dikaitkan dengan situasi nyata dimana siswa berada, mendorong siswa membuat hubungan antara konsep yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan keseharian siswa di dalam masyarakat, sehingga pembelajaran lebih bermakna dan proses belajar lebih penting daripada hasil belajar. Dengan dukungan situasi yang demikian, siswa perlu dikondisikan di dalam situasi pembelajaran di kelas yang memungkinkan siswa mengerti dan memahami makna belajar, manfaat, peran, dan status siswa dalam proses pembelajaran tersebut. Jika siswa dapat memahami dan mengerti hal tersebut, maka siswa akan berusaha untuk mencapainya dan memerlukan guru sebagai pembimbing, fasilitator, dan mediator.

Pembelajaran yang ingin dikembangkan berorientasi pada proses bagaimana memperoleh informasi, cara IPA dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir yang dikaitkan dengan situasi nyata dimana siswa berada dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran tersebut dikembangkan dengan pendekatan kontekstual.

Dalam buku “Pendekatan Kontekstual” yang diterbitkan oleh Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menerapkan ketujuh komponen dalam pembelajarannya. Ketujuh komponen tersebut adalah konstruktivisme, bertanya, inquiri, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang otentik/bermakna.

Konstruktivisme merupakan filosofi pendekatan kontekstual yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh siswa, melalui pemecahan masalah dan menemukan sesuatu yang berguna. Proses menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, pengetahuan dan keterampilan sehingga siswa diharapkan menemukan sendiri hasilnya. Tahap-tahap siswa memenemukan merupakan cara berpikir ilmiah melalui keterampilan proses, antara lain adalah merumuskan masalah, melakukan observasi, melakukan analisis, menyajikan hasil, dan mengkomunikasikannya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, bertanya ini tidak hanya guru terhadap siswa, tetapi juga siswa terhadap guru dan terhadap teman sendiri. Bagi siswa aktivitas bertanya adalah untuk menggali informasi, mengkomunikasikan apa yang telah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

Di dalam proses pembelajaran di kelas dengan pendekatan kontekstual, dikondisikan terciptanya suasana saling belajar; siswa belajar dari guru, dari buku/sumber informasi lainnya, dari sesama teman, dan sebaliknya guru belajar dari siswa, sehingga di dalam ruang kelas tersebut terjadi masyarakat belajar. Pemodelan dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual adalah sesuatu yang dapat ditiru oleh siswa untuk memudahkan, memperlancar, membangkitkan ide dalam proses pembelajaran. Model dapat diperoleh dari guru, siswa, atau dari luar sekolah yang relevan dengan konteks dan materi yang sedang menjadi topik bahasan. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari, tentang apa yang sudah dilakukan masa lalu dan merupakan respon terhadap kejadian, serta  aktivitas atau pengetahuan baru yang diterima atau dilakukan. Penilaian yang sebenarnya adalah proses pengumpulan berbagai data yang diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat proses pembelajaran yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Jadi penilaian autentik adalah penilaian terhadap pengetahuan dan performa yang diperoleh siswa selama aktivitas pembelajaran berlangsung.

Untuk memperoleh hasil yang optimal dari suatu proses pembelajaran seperti yang telah diungkapkan di atas, perlu dilakukan berbagai upaya, misalnya guru perlu disiapkan dengan baik untuk membangun kompetensi-kompetensi keguruan yang profesional sehingga diharapkan mampu mengelola pembelajaran di kelas dengan baik dan meningkatkan mutu pendidikan. Kesadaran semua pihak, para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, pengelola pendidikan, implementator pendidikan, dan para pemerhati pendidikan sangat diperlukan dalam merealisasikan paradigma baru pendidikan di Indonesia sehingga mutu pendidikan dapat meningkat.
Seperti diketahui, sasaran belajar IPA adalah membangun gagasan saintifik (ilmiah) setelah para siswa berinteraksi dengan lingkungan, peristiwa, dan informasi dari sekitarnya. Pandangan konstruktivisme sebagai filosofi pendidikan IPA mutakhir menganggap semua siswa memiliki gagasan atau pengetahuan tentang lingkungan, pengetahuan, fakta akan gejala alam di sekitarnya, meskipun hal tersebut kadang terkesan naif dan miskonsepsi. Mereka (para siswa) seringkali mempertahankan gagasan atau pengetahuan naif tersebut secara kokoh, karena gagasan atau pengetahuan itu mengait dengan gagasan atau pengetahuan awal lainnya yang sudah lebih dulu dibangun dalam wujud struktur kognitifnya.

Menurut pandangan ini, kegiatan pembelajaran dimulai dari apa yang diketahui siswa, sehingga pembelajaran tidak dapat dilakukan dengan cara indoktrinasi gagasan atau pengetahuan saintifik supaya siswa mau mengganti dan memodifikasi gagasannya yang nonsaintifik menjadi gagasan atau pengetahuan yang saintifik. Dengan demikian, arsitek peubah gagasan atau pengetahuan dalam diri siswa adalah siswa sendiri. Sedangkan guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan pembimbing yang menyediakan, mempermudah, bahkan kalau bisa mempercepat berlangsungnya proses belajar. Dalam proses konstruksi itu, menurut Von Glaserfeld (Jaskarti, 2002) diperlukan beberapa kemampuan, yaitu: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan memban-dingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada pengalaman yang lain.

Beberapa bentuk kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme, antara lain adalah diskusi dimana siswa mau mengungkapkan gagasan, pengujian, penelitian sederhana, demonstrasi, dan peragaan prosedur ilmiah. Juga kegiatan lain yang memberi ruang kepada siswa untuk dapat mempertanyakan, memodifikasi, dan mempertajam gagasannya.

Dalam belajar secara konstruktif, para siswa mempunyai kesempatan untuk menyatakan, menguji, memodifikasi, dan juga meninggalkan ide-ide awal mereka yang sudah ada sebelumnya dan mengadopsi ide-ide baru. Melalui tugas-tugas dalam pelajaran IPA yang dikaitkan dengan tingkat perkembangan intelektualnya, para siswa mempunyai kesempatan untuk memahami alam secara aktif dengan membangun pemahaman tentang fenomena alam melalui aktivitas nyata kehidupan sehari-hari.

Menekankan pada proses IPA sebagai sebuah pendekatan dalam proses pembelajaran merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat menjanjikan akan adanya perubahan pada hasil pembelajaran. Pendekatan keterampilan proses lebih menekankan pada siswa sebagai pusat pembelajaran, dan pendekatan seperti ini diharapkan dapat lebih merangsang dan memberi peluang kepada siswa untuk belajar, berpikir inovatif, dan mengembangkan potensinya secara optimal.

C.    Proses Pembelajaran IPA
IPA atau ilmu pengetahuan alam pada dasarnya mencari hubungan kausal antara gejala-gejala alam yang diamati. Oleh karena itu, proses pembelajaran IPA seharusnya mengembangkan kemampuan bernalar dan berpikir sistematis selain kemampuan deklaratif yang selama ini dikembangkan. Salah satu inovasi sebagai salah satu usaha adalah mencari model-model pembelajaran IPA yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan IPA.

Hal ini berarti, belajar IPA tidak hanya belajar dalam wujud pengetahuan deklaratif berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, tetapi juga belajar tentang pengetahuan prosedural berupa cara memperoleh informasi, cara IPA dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja ilmiah, dan keterampilan berpikir. Belajar IPA memfokuskan kegiatan pada penemuan dan pengolahan informasi melalui kegiatan mengamati, mengukur, mengajukan pertanyaan, mengklasifikasi, memecahkan masalah, dan sebagainya, lebih sesuai dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses.

Pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung. Dengan demikian, siswa perlu dibantu untuk mampu mengembangkan  sejumlah pengetahuan  yang menyangkut kerja ilmiah dan pemahaman konsep serta aplikasinya. Bahan kajian kerja ilmiah adalah:
a.   mampu menggali pengetahuan melalui penyelidikan/penelitian,
b.  mampu mengkomunikasikan pengetahuannya,
c.   mampu mengembangkan keterampilan berpikir,
d.  mampu mengembangkan sikap dan nilai ilmiah.

Bahan kajian IPA yang berkaitan dengan pemahaman konsep dan penerapannya adalah:
a.   memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang makhluk hidup dan proses kehidupan,
b.  memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang materi dan sifatnya,
c.   memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang energi dan perubahannya,
d.  memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang bumi dan alam semesta, serta
e.   memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aplikasinya tentang hubungan antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.

Keterampilan proses yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran IPA, diantaranya adalah keterampilan mengamati dengan seluruh indera, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan hasil temuan secara beragam, menggali dan memilah informasi faktual untuk menguji gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari.
Pada prinsipnya pembelajaran IPA adalah cara memberi tahu dan cara berbuat, akan membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang alam sekitarnya dengan mendudukkan siswa sebagai pusat perhatian dalam  interaksi aktif dengan teman, lingkungan, dan nara sumber lainnya.

Rezba dkk. (1995) menyatakan bahwa keterampilan proses IPA yang harus dikembangkan pada diri siswa mencakup kemampuan yang paling sederhana, yaitu mengindera/mengamati (observing), mengukur, sampai dengan kemampuan tertinggi yaitu kemampuan bereksperimen/menyelidiki. Sementara itu, Bryce dkk. (1990) mengemukakan bahwa keterampilan proses IPA mencakup keterampilan dasar (basic skill) sebagai kemampuan yang terendah, diikuti dengan keterampilan proses (process skill), dan keterampilan investigasi (investigation skill) sebagai keterampilan tertinggi. Keterampilan dasar mencakup: (a) melakukan pengamatan (observational skill), (b) mencatat data (recording skill), (c) melakukan pengukuran (measurement skill), (d) mengimplementasikan prosedur (procedural skill), dan (e) mengikuti petunjuk (following instructions). Keterampilan proses meliputi (a) menginferensi/menyimpulkan (skill of inference) dan (b) memilih berbagai cara/prosedur (selection of procedures). Keterampilan investigasi berupa keterampilan merencanakan dan melaksanakan serta melaporkan hasil investigasi. Keterampilan tersebut juga harus didasari oleh sikap ilmiah seperti antusiasme, ketekunan, kejujuran dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan pembelajaran IPA seperti yang dikemukakan dalam Kurikulum IPA 2006 adalah:
a.   empat pilar pendidikan dari Unesco,
b.  inkuiri IPA,
c.   konstruktivisme,
d.  IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat,
e.   pemecahan masalah, serta
f.   pembelajaran IPA yang bermuatan nilai.

Pembelajaran IPA seperti di atas menuntut guru untuk mengubah pandangan tentang mengajar, dari guru sebagai pusat pembelajaran (teacher centered) ke siswa sebagai pusat pembelajaran (student centered), guru berfungsi membimbing dalam rangka mempermudah peristiwa belajar. Jadi, ketika guru menyediakan pengalaman belajar, guru perlu mempertimbangkan pengalaman dan gagasan yang dimiliki siswa. Hal ini diperlukan karena siswa datang ke sekolah tidak dengan pikiran kosong, tetapi dengan membawa aneka gagasan, pengalaman, tujuan, dan konsep. Pandangan ini menganggap belajar sebagai upaya membangun pemahaman, sedangkan mengajar adalah suatu upaya membimbing dan mempermudah proses belajar.

Kurikulum IPA sekarang ini dirancang sedemikian rupa sehingga dalam menyediakan berbagai pengalaman belajar mulai dari yang menyangkut pengetahuan deklaratif sampai dengan pengetahuan prosedural. Proses pembelajaran yang dikembangkan untuk mencapai pengalaman belajar siswa tersebut di atas dapat dicapai dengan menekankan pada aktivitas belajar siswa aktif dan bersifat fleksibel.

Pandangan tersebut di atas menuntun guru untuk mencari alternatif pendekatan pembelajaran yang sesuai. Pendekatan kontekstual, IPA, teknologi, dan masyarakat, demonstrasi, dan eksperimen barangkali merupakan beberapa alternatif yang diharapkan dapat memecahkan kebuntuan peningkatan mutu pendidikan IPA.

Selanjutnya, para guru perlu memahami adanya perbedaan antara karakteristik siswa pada tingkatan umur dan jenjang pendidikan yang berbeda. Proses IPA untuk sekolah menengah sudah berbeda dengan sekolah dasar (Cavendish 1990), yaitu meliputi: (a) kegiatan melakukan observasi, (b) memilih kegiatan observasi yang relevan dengan penyelidikannya untuk dipelajari lebih lanjut, (c) menemukan dan mengidentifikasi pola-pola baru dan menghubungkannya dengan pola-pola yang sudah ada, (d) menyarankan dan menilai penjelasan-penjelasan dari pola-pola yang ada, (e) mendisain dan melaksanaan percobaan (eksperimen), termasuk melakukan berbagai pengukuran untuk menguji pola-pola yang ada, mengkomunikasikan (baik secara verbal, dalam ungkapan matematis, maupun grafis) dan menginterpretasi tulisan-tulisan dan bahan ajar lainnya, (f) memakai peralatan dengan efektif dan hati-hati, (g) menggunakan pengetahuan untuk melaksanakan penyelidikan, dan (h) menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan teknologi. 

D.    Pengertian dan Fungsi Laboratorium Dalam Pembelajaran IPA
Laboratorium atau Laboratory pada kamus Webster’s, yaitu A building or room in which scientific experiments are conducted, or where drugs, chemicals explosives are tested or compounded. Pada kamus Oxford, Laboratory: room or building used for scientific experiments, research, testing, etc esp in chemistry… language. (Hornby, 1985). Pada Wikipedia, Laboratorium (disingkat lab) adalah tempat riset ilmiah, eksperimen, pengukuran ataupun pelatihan ilmiah dilakukan. Laboratorium biasanya dibuat untuk memungkinkan dilakukannya kegiatan-kegiatan tersebut secara terkendali. Laboratorium ilmiah biasanya dibedakan menurut disiplin ilmunya, misalnya laboratorium fisika, laboratorium kimia, laboratorium biokimia, laboratorium komputer, dan laboratorium bahasa. (Wikipedia, 2007). Pada SPTK-21 dikemukakan Laboratorium merupakan tempat untuk mengaplikasikan teori keilmuan, pengujian teoritis, pembuktian uji coba, penelitian, dan sebagainya dengan menggunakan alat bantu yang menjadi kelengkapan dari fasilitas dengan kuantitas dan kualitas yang memadai (Depdiknas, 2002).

Dalam konteks pendidikan di sekolah laboratorium mempunyai  fungsi sebagai tempat proses pembelajaran dengan metoda praktikum yang dapat memberikan pengalaman belajar pada siswa untuk berinteraksi dengan alat dan bahan serta mengobservasi berbagai gejala secara langsung. Kegiatan laboratorium/praktikum akan memberikan peran yang sangat besar terutama dalam:
a.       membangun pemahaman konsep;
b.      verifikasi (pembuktian) kebenaran konsep;
c.       menumbuhkan keterampilan proses (keterampilan dasar bekerja ilmiah) serta afektif siswa;
d.      menumbuhkan “rasa suka” dan motivasi terhadap pelajaran yang dipelajari;
e.       melatih kemampuan psikomotor.

Oleh karena itu kegiatan laboratorium/praktikum akan dapat meningkatkan kecakapan akademik, sosial, dan vokasional. Magnesen yang dikutif oleh DePorter, dkk. dan diterjemahkan oleh Nilandari (2000) mengemukakan:
”Kita belajar:
10% dari apa yang kita baca,
20% dari apa yang kita dengar,
30% dari apa yang kita lihat,
50% dari apa yang kita lihat dan dengar,
70% dari apa yang kita katakan,
90% dari apa yang kita katakan dan lakukan.”

Sesusi dengan karakteristiknya bahwa IPA berupa  sekumpulan pengetahuan sebagai hasil penelitian dan pemikiran para ahli dan berupa sekumpulan keterampilan-keterampilan dasar yang mencerminkan proses untuk mencapai hasil tersebut. Dengan demikian agar para siswa dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar yang mencerminkan proses dalam kegiatan ilmiah dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses diperlukan sarana penunjang, salah satunya adalah Laboratorium IPA.

E. Penutup
Penggunaan Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pembelajaran IPA memiliki beberapa keuntungan, antara lain sebagai berikut:
1.      Kita mendidik anak-anak kita untuk masa depan yang akan datang, sementara itu kita tidak mengetahui dengan pasti fakta-fakta IPA apa yang diperlukan oleh anak-anak kita di masa yang akan datang. Tetapi karena berdasarkan pengelaman bahwa proses-proses IPA dapat menolong manusia untuk menemukan pengetahuan yang baru, maka kita percaya bahwa proses IPA yang sama dan dapat dikuasai oleh anak-anak kita  dapat digunakan oleh mereka untuk memperoleh pengetahuan baru di masa yang akan datang.

2.      Gagne menyebutkan bahwa pendekatan keterampilan proses adalah pendekatan kreatif serta mengemukakan bahwa anak yang telah mendapat pembelajaran proses IPA ini akan mampu mempelajari IPA pada tingkat yang lebih tinggi dalam waktu yang singkat. Siswa akan mempunyai konsepsi yang lebih baik tentang IPA, yaitu suatu cara berpikir dan menemukan.

F. Pustaka
Ausubel, D. (1963). The Psychology of Meaningful Verbal Learning. New York: Grune & Stratton.
Ausubel, D. (1978). In defense of advance organizers: A reply to the critics. Review of Educational Research, 48, 251-257.
Ausubel, D., Novak, J., & Hanesian, H. (1978). Educational Psychology: A Cognitive View (2nd Ed.). New York: Holt, Rinehart & Winston.
Dahar, R. W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Novak, J. D. & Gowin, D.B. (1985). Learning How to Learn. Cambrige: Cambridge University Press.
Joice,B. ,Weil, M., & Calhoun, E. (2000). Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More